POLITIK KAMPUS Write By Muhammad Badai Anugrah

POLITIK KAMPUS
Muhammad Badai Anugrah

Kampus merupakan sebagai salah satu center of intellectuality memberikan ruang bagi berkembangnya berbagai ranah pemikiran, isu–isu nasional hingga internasional selalu saja menjadi garapan yang menarik di kampus–kampus seantero dunia. Mahasiswa selalu memainkan peran atau menjadi pemain sentral di negara manapun, yaitu sebagai the universal opposition anti terhadap pemerintahan rezim apapun yang berkuasa di negara tersebut. Mewaspadi ancaman yang akan ditimbulkan oleh masyarakat intelektual kota ini, para pemimpin negara kerap kali akan melakukan gerakan–gerakan restruktuisasi politiknya hingga jauh menjangkau kedalam kampus. 

Di Indonesia praktik restruktuisasi politik di contohkan dan di pertontonkan oleh rezim orde baru pimpinan “bapak pembangunan” Soeharto tiga puluh lima tahun yang lampau tepatnya pada tahun 1974 lewat SK menteri P dan K No 028/U/1974 tentang NKK (normalisasi kehidupan kampus) dan BKK (badan koordinasi kemahasiswaan) sekarang senat / BEM, dimana isi keputusan ini sangat membelenggu langkah gerak mahasiswa yang sejatinya pergerakan mahasiswa harus senantiasa bergerak dan merambah, menjalar, mengembangkan nalar intelektualitas sejatinya, namun dalam konteks NKK-BKK semua kegiatan mahasiswa kala itu harus seluruhnya melalui persetujuan pihak pimpinan perguruan tinggi / rektorat yang pada dasarnya pada waktu itu mereka adalah antek–antek penguasa, dan pergerakan mahasiswa harus sesuai dengan cita–cita kepala negara yang tentunya ini sangat jelas bertentangan dengan idealnya mahasiswa yang selalu menempatkan dirinya menjadi oposisi kritis pada pemerintahan yang sedang berkuasa, dampak yang paling terlihat adalah mahasiswa kehilangan ruang politiknya yang bebas dan kreatif, melainkan hanya sebatas teori dan konsep diruang kelas. 

Namun saat ini permasalahan kampus terus saja berkembang ditengah–tengah pasang surut kondisi sosial politik negeri ini, namun ironis justru permasalahan yang berkembang di kampus hanya permasalahan yang sama sekali tidak menunjukan kekuatan bersama sebuah kelompok mahasiswa yang besar, yang mengusung isu bersama dan ideologi menjadi oposisi penuh bagi pemerintah, sebagaimana warisan yang diberikan oleh pergerakan mahasiswa terdahulu yang seharusnya menjadi bahan kerjaan mahasiswa saat ini, sekarang yang berlangsung hanyalah pertarungan antar mahasiswa sendiri, tidak ada lagi teriakan “satu komando, satu perjuangan, rakyat (mahasiswa) bersatu tak bisa dikalahkan” justru diperalat oleh sekat–sekat dasar ideologi, atas dasar fanatisme sempit kelompok, kamu bukan kelompokku, maka kamu musuhku, kamu tidak sealiran denganku kamu salah, yang melahirkan tradisi politik kotor dan amoral, yang saat ini justru mahasiswa menjadi boneka atau malah robot kepentingan oknum tertentu yang haus akan kekuasaan, bahkan bisa jadi mahasiswa adalah pionir bagi pemerintahan yang sedang berkuasa, alamat kemunduran gerakan kampus. Indikas ini pun terlihat dari gaya hidup hedonisme anak muda yang dibawa oleh budaya barat, membuat mata dan hati tertutup untuk masalah rakyat, dan lebih penting mengatur jadwal bersenang–senang pacaran, mumpung masih muda katanya??? ketimbang memikirkan kelanjutan atas kemajuan bangsa dan negaranya sendiri. 

Mencermati geliat gerakan mahasiswa di tataran politik nasional delapanbelas tahun pascareformasi bisa dikatakan minim partisipasi. Apalagi untuk urusan berkecimpung di dunia politik praktis, sangat kurang minat.

Kenyataan ini diperlihatkan dari banyaknya “golongan tua” yang masih dominan di dunia politik. Tersebutlah nama-nama lawas seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Amien Rais, Sutiyoso, atau Wiranto. Notabene kesemuanya telah berusia diatas 40 tahun. Tak ada satupun muncul nama baru dari golongan muda yang maju ke kancah perpolitikan nasional. 

Fenomena ini tentu lahir bukan tanpa sebab. Ketertarikan mahasiswa kontemporer saat ini cenderung kearah market oriented yaitu orientasi yang lebih membawa dampak profit and benefit bagi si mahasiswa itu sendiri. Lain kata, mahasiswa saat ini lebih berpikir soal untung-ruginya ia mengikuti sebuah kegiatan. Tentu saja hal ini amat kontras dengan tipe gerakan politik mahasiswa pada angkatan pra-kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Dimana arah pergerakan mahasiswa waktu itu lebih bersifat nation problem oriented dengan melibatkan massa rakyat. 

Meski begitu, saat ini masih terdapat kelompok mahasiswa yang memiliki interest terhadap kajian politik. Mereka ini sebenarnya merupakan kelompok termarjinalisasi dari kaum mahasiswa itu sendiri. Mereka yang peduli ini “bertahan” dan membuktikan “eksistensi” didalam bentuk organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti BEM, Dewan Kemahasiswaan, kelompok studi yang berorientasi kepada kegiatan politik. 

Isu-isu yang diusung biasanya merupakan isu lokal atau paling banter isu hari peringatan saja yang bersifat seremonial. Jarak memengaruhi minat individu atau kelompok untuk mengangkat sebuah isu. Isu yang diangkat harusnya mengenai kebijakan-kebijakan kampus. Seperti absensi 75%, naiknya SPP dari tahun ke tahun yang tidak sepadan dengan fasilitas kampus atau problem ketidakberesan birokrasi kampus. 

Selain itu, Gerakan mahasiswa saat ini memiliki kecenderungan memperjuangkan vested interest-nya masing-masing. Misalnya, BEM di sebuah fakultas memperjuangkan kepentingan prokernya yang jauh dari marwah lembaganya.Akhirnya malah kesan eksklusif yang justru didapat. Dampaknya tenaga dan pemikiran kritis mahasiswa kekinian hanya habis tersedot untuk mengurusi prokernya . Akibatnya individu atau anggota organisasi kemahasiswaan tersebut terisolasi pengetahuannya tentang perkembangan politiDisini gerakan mahasiswa perlu atur taktik dan strategi. Problem ini bisa diatasi dengan cara melakukan pembagian tugas antaranggota didalam organisasi tersebut. Pembagian berdasarkan urusan internal dan eksternal organisasi. Bagian internal mengurusi soal problem mahasiswa dan kampus Sedangkan bagian eksternal bermain pada tataran menjalin relasi dengan organisasi kemahasiswaan ekstra-universitas. Juga membahas isu-isu yang bersifat nation problem oriented. 

Konon, akhir-akhir ini ada sebuah asumsi yang mengatakan bahwa pergeseran paradigma yang terjadi dalam tubuh para aktivis mahasiswa semakin hari semakin riskan. Dunia kampus, yang sejatinya harus tumbuh dan berkembang di dalamnya tradisi intelektualisme, ternyata hanyalah omong kosong belaka. Demi mendapatkan kekuasan sektarian, kebohongan demi kebohongan mereka lontarkan seirama dengan umbaran janji-janji palsu yang menjijikkan. Mereka tidak menyadari, atau pura-pura tidak tahu-manahu perihal implikasi logis yang diakibatkan dari keculasan mereka. 

Lihatlah, begitu banyak para aktivis yang sering menyalahgunakan organisasi dan sering memanfaatkan kader yang masih botak-botak untuk memenuhi kepentingan “perut” mereka. Padahal dalam dataran idealitas, kader seharusnya tidak dijadikan tunggangan dan kemudian ditinggalkan ketika “kepuasan” telah digenggam, melainkan diberdayakan dan selalu diupayakan menuju kematangan-kematangan dan penyempurnaan-peneyempurnaan, baik secara intelektualitas maupun emosionalitas. 

Barangkali karena mereka, para aktivis “kacangan” itu terlalu ahli dalam manajemen isu, sehingga mereka lupa dan terjerat ke dalam jurang oportunisme dan pragmatisme buta. Contoh yang sangat riil dapat kita temukan di kampus kita. Ketika pesta pemilu raya digelar, disadari atau tidak, muncul dan berkembang istilah yang disebut dengan bad campaign dan back campaign. Trem yang pertama adalah kampanye politik yang dimaksudkan untuk mengkritik lawan politik dan mengungkap segala kelemahan-kelemahannya. Term yang kedua diistilahkan sebagai kampanye politik dengan menjelek-jelekkan, bahkan memfitnah lawan politik demi membunuh karakter lawan politiknya. 

Sesungguhnya, berpolitik adalah hal yang sangat manusiawi. Karenanya, dalam politik ada ”aturan main” dan etika yang harus didindahkan tanpa bertolak belakang dengan tujuan yang diharapkan. Dalam perspektif Mahatma Ghandi, seorang tokoh revolusioner dari India, setiap tujuan yang ingin dicapai harus selaras dan seimbang dengan metode dan cara yang dilakukan. Mustahil hasil dari tujuan dinilai baik jika metode yang digunakan adalah dengan jalan yang buruk. Begitulah kiranya yang dimaksud dengan politik yang ”bersih”, sebagaimana yang pernah dikatakan Plato bahwa politik adalah seni mempegaruhi orang lain dengan kecerdikan dan kecerdasan, bukan dengan keculasan dan kebohongan serta cara-cara keji yang menghalalkan segala macam aturan demi meraih keinginan. 

Tetapi, antara idelitas dengan realitas memang cenderung berdiri secara diametris. Kerja-kerja politik yang idelanya selalu bersih dari ”kelicikan-kelicikan” dan ”keculasan-keculasan” ternyata banyak menuai kendala. Sehingga tidak heran jika kemudian ada ”justifikasi publik” bahwa politik itu memang kotor, tidak pernah bersih. Kalau jujur dan bersih itu bukan politik. Begitu mungkin kilah mereka.

salam kemuliaan. 

•SS
#SalamSahabatUMI
Read Via LINE
Share on Google Plus

About SahabatUMI

1 comments:

Submit Event/Info Kampus
×
_

SABAR Yahn Kak, KITA MASIH DALAM MODE PENGEMBANGAN!!!